Selasa, 17 November 2015

Ya! Aku Seorang Ibu


Pramoedya Ananta Toer selalu mengingat pesan ibunya agar dia menjadi manusia bebas dan menjadi majikan bagi dirinya sendiri tetapi jangan melanggar hak orang lain dan jangan sekali meminta-minta kepada orang lain. Dari pesan ibunya inilah yang selalu terpancar dalam novel-novel yang dia tulis.
(… dan aku selalu mengagumi karya-karya Pram)

KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah mengatakan bahwa selama ibunya masih hidup, Gus Mus tidak pernah sholat istiqarah (dalam Islam sholat istiqarah dilakukan saat kita bimbang memilih suatu hal), karena setiap Gus Mus bimbang akan pilihannya Gus Mus langsung bertanya pada ibunya, uniknya Gus Mus hanya memerlukan jawaban ya atau tidak, boleh atau tidak tanpa meminta alasan dari jawaban ibunya.
(… wow menarik)

Agustinus Wibowo, seorang backpacker dan penulis kisah perjalanan dalam bukunya yang berjudul Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan, berkisah bahwa setelah mengelana begitu jauh, dia pulang karena ibunya sakit, kemudian dia bersujud disamping ranjang ibunya, dan justru dari ibunya yang tidak pernah kemana-mana itulah dia menemukan satu demi satu makna perjalanan yang selama ini terabaikan.
(… dan kemudian akupun terharu)

***


Buku Ayu Utami Koleksiku ^^
 
Sejak lajang aku juga menyukai dan mengoleksi buku karya Ayu Utami, karena membaca buku-buku yang ditulis Ayu Utami selalu membuatku takjub karena banyak kalimat yang selalu membuatku merenung, terngiang-ngiang, berpikir dan melihat kenyataan yang ada di masyarakat, aku selalu merasa ia "antimainstream" tapi sekaligus logis, jadi sebagai pembaca aku sarankan untuk membaca tulisan Ayu Utami dengan pikiran terbuka dan bersiaplah terkejut.
 
Entah kenapa ketika aku menjadi seorang ibu, aku selalu penasaran dengan sosok ibu orang yang aku kagumi. Begitu juga aku penasaran dengan ibu dari Ayu Utami, dari buku trilogi kisah nyata Ayu Utami (Si Parasit Lajang-Cerita Cinta Enrico-Pengakuan Eks Parasit Layang) sosok ibunya sepintas diceritakan, tapi belum memuaskan rasa penasaranku, sampai pada sekitar bulan September 2014 melalui akun twitternya @BilanganFu, Ayu Utami mengumumkan akan memrilis buku baru yang seperti buku terdahulunya diterbitkan oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) yang berjudul Simple Miracles pada bulan Oktober 2014. Tanpa buang tempo, pada Oktober aku meluncur ke Gramedia Matos Malang untuk membeli buku itu, buku bersampul coklat berpindah tangan kepadaku, dan sesampainya dirumah tak sabar untuk langsung melahapnya.
 
Buku Simple Miracles karya Ayu Utami
 
Buku Simple Miracles merupakan buku seri pertama spirtualisme kritis yang berisi kisah nyata tentang doa dan arwah yang dalam daftar isi dibagi menjadi tiga bab yaitu Hantu, Tuhan dan Tahun. Spiritualisme kritis adalah keterbukaan pada yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis. Selain Ide besar yang ada di buku ini, saya tertarik sekali dengan tokoh ibu dari A (Ayu Utami) karena ini juga bisa menuntaskan rasa penasaran seperti siapa ibu A. Di mulai dengan ingatan A pada masa kecil ketika berziarah ke makam nenek, kakek dan pamannya yang kemudian pada suatu saat A membimbangkan perkara doa dan arwah. Selain itu dalam buku ini A banyak bercerita tentang keluarganya terutama ibunya, karena buku ini memang di tulis A untuk mengenang 100 hari wafat ibunya.

Membaca buku ini aku merasa seperti Ibu A, bisa jadi karena sebagai sesama seorang ibu, selanjutnya aku merasa ibu A menjadi diriku dalam memandang soal doa dan arwah.
 
Ibu A yang lembut hati selalu bersikap bahwa hantu/arwah tidak relevan dalam kehidupan ini, dan beranggapan hantu/arwah tidak pernah ada jika kita tidak memikirkannya, sehingga Ibu A tak pernah takut pada kegelapan yang konon di sukai hantu/arwah, Ia takut pada orang jahat, maling atau garong. Ibu A tidak menolak hantu/arwah dan juga tidak bergairah untuk tahu perihal hantu. Ibu A biasa bersikap skeptis mengenai hal-hal gaib, kecuali perihal Tuhan, padahal menurut A persamaan hantu-hantuan dan tuhan-tuhanan adalah keduanya gaib tak bisa dibuktikan secara material dan obyektif. Ibu A juga sangat tidak percaya bahkan cenderung tidak suka pada dukun, paranormal, cenayang, “orang pintar” atau sederet istilah yang kurang lebih sama maknanya, yang terkadang bahkan selalu bisa mempengaruhi emosi maupun hidup kita untuk selalu mempercayai “penglihatannya” terhadap kita dan menuruti nasehatnya
 
Ketika Ibu A tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa bertindak ini itu, atau ketika ia tak sanggup berkata jujur, Ibu A akan selalu berdoa. Ia akan berdoa seratus kali lipat lebih khusyuk dari biasanya apabila ia merasa tidak sanggup menyelesaikan masalah yang dihadapinya, dan iapun akan menyerahkan masalahnya kepada Tuhan. Pertama-tama memang A selalu mempertanyakan apakah itu kekuatan doa? Ataukah itu kekuatan sugesti? Sehingga doa ibunya sering terkabul. A juga menyadari bahwa perkara doa yang terkabul ataupun keajaiban kecil maupun besar yang terjadi dalam hidup memang kadang tampak hadir biasa saja, tanpa sensasi dan sangat sederhana sehingga membuat A enggan mengakuinya. Tapi pada akhirnya melalui sosok ibunya membuat A tetap percaya pada doa, bahkan pada tahun-tahun A tak terlalu percaya Tuhan.

Melalui buku ini pula aku banyak belajar tentang hubungan ibu-anak. Aku sadar sebagai seorang ibu kadang aku berharap terlalu banyak kepada anakku, tapi yang ku tau pasti aku akan selalu berusaha berbuat baik dengan cara yang menyenangkan terutama kepada anak-anakku.

Last but not least, jika semua akan menjadi sejarah, aku ingin menjadi sejarah yang dikenang indah oleh anak-anakku.

*tulisan ini diikutsertakan dalam Gramedia Blogger Competition bulan November. #GBCNovember