Pramoedya Ananta
Toer selalu mengingat pesan ibunya agar dia menjadi manusia bebas dan menjadi
majikan bagi dirinya sendiri tetapi jangan melanggar hak orang lain dan jangan
sekali meminta-minta kepada orang lain. Dari pesan ibunya inilah yang selalu
terpancar dalam novel-novel yang dia tulis.
(… dan aku selalu mengagumi karya-karya
Pram)
KH. Mustofa
Bisri (Gus Mus) pernah mengatakan bahwa selama ibunya masih hidup, Gus Mus
tidak pernah sholat istiqarah (dalam Islam sholat istiqarah dilakukan saat kita
bimbang memilih suatu hal), karena setiap Gus Mus bimbang akan pilihannya Gus
Mus langsung bertanya pada ibunya, uniknya Gus Mus hanya memerlukan jawaban ya
atau tidak, boleh atau tidak tanpa meminta alasan dari jawaban ibunya.
(… wow menarik)
Agustinus Wibowo,
seorang backpacker dan penulis kisah perjalanan dalam bukunya yang berjudul
Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan, berkisah bahwa setelah mengelana begitu
jauh, dia pulang karena ibunya sakit, kemudian dia bersujud disamping ranjang ibunya,
dan justru dari ibunya yang tidak pernah kemana-mana itulah dia menemukan satu
demi satu makna perjalanan yang selama ini terabaikan.
(… dan kemudian akupun terharu)
***
Buku Ayu Utami Koleksiku ^^ |
Sejak lajang aku
juga menyukai dan mengoleksi buku karya Ayu Utami, karena membaca buku-buku
yang ditulis Ayu Utami selalu membuatku takjub karena banyak kalimat yang
selalu membuatku merenung, terngiang-ngiang, berpikir dan melihat kenyataan
yang ada di masyarakat, aku selalu merasa ia "antimainstream" tapi sekaligus
logis, jadi sebagai pembaca aku sarankan untuk membaca tulisan Ayu Utami dengan
pikiran terbuka dan bersiaplah terkejut.
Entah kenapa
ketika aku menjadi seorang ibu, aku selalu penasaran dengan sosok ibu orang
yang aku kagumi. Begitu juga aku penasaran dengan ibu dari Ayu Utami, dari buku
trilogi kisah nyata Ayu Utami (Si Parasit Lajang-Cerita Cinta Enrico-Pengakuan
Eks Parasit Layang) sosok ibunya sepintas diceritakan, tapi belum memuaskan
rasa penasaranku, sampai pada sekitar bulan September 2014 melalui akun twitternya
@BilanganFu, Ayu Utami mengumumkan akan memrilis buku baru yang seperti buku
terdahulunya diterbitkan oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) yang berjudul
Simple Miracles pada bulan Oktober 2014. Tanpa buang tempo, pada Oktober aku
meluncur ke Gramedia Matos Malang untuk membeli buku itu, buku bersampul coklat
berpindah tangan kepadaku, dan sesampainya dirumah tak sabar untuk langsung
melahapnya.
Buku Simple Miracles karya Ayu Utami |
Buku Simple
Miracles merupakan buku seri pertama spirtualisme kritis yang berisi kisah
nyata tentang doa dan arwah yang dalam daftar isi dibagi menjadi tiga bab yaitu
Hantu, Tuhan dan Tahun. Spiritualisme kritis adalah keterbukaan pada yang spiritual
tanpa mengkhianati nalar kritis. Selain Ide besar yang ada di buku ini, saya
tertarik sekali dengan tokoh ibu dari A (Ayu Utami) karena ini juga bisa
menuntaskan rasa penasaran seperti siapa ibu A. Di mulai dengan ingatan A pada
masa kecil ketika berziarah ke makam nenek, kakek dan pamannya yang kemudian pada
suatu saat A membimbangkan perkara doa dan arwah. Selain itu dalam buku ini A
banyak bercerita tentang keluarganya terutama ibunya, karena buku ini memang di
tulis A untuk mengenang 100 hari wafat ibunya.
Membaca buku ini
aku merasa seperti Ibu A, bisa jadi karena sebagai sesama seorang ibu,
selanjutnya aku merasa ibu A menjadi diriku dalam memandang soal doa dan arwah.
Ibu A yang
lembut hati selalu bersikap bahwa hantu/arwah tidak relevan dalam kehidupan
ini, dan beranggapan hantu/arwah tidak pernah ada jika kita tidak memikirkannya,
sehingga Ibu A tak pernah takut pada kegelapan yang konon di sukai hantu/arwah,
Ia takut pada orang jahat, maling atau garong. Ibu A tidak menolak hantu/arwah
dan juga tidak bergairah untuk tahu perihal hantu. Ibu A biasa bersikap skeptis
mengenai hal-hal gaib, kecuali perihal Tuhan, padahal menurut A persamaan
hantu-hantuan dan tuhan-tuhanan adalah keduanya gaib tak bisa dibuktikan secara
material dan obyektif. Ibu A juga sangat tidak percaya bahkan cenderung tidak
suka pada dukun, paranormal, cenayang, “orang pintar” atau sederet istilah yang
kurang lebih sama maknanya, yang terkadang bahkan selalu bisa mempengaruhi
emosi maupun hidup kita untuk selalu mempercayai “penglihatannya” terhadap kita
dan menuruti nasehatnya
Ketika Ibu A
tidak bisa berbuat apa-apa, tidak bisa bertindak ini itu, atau ketika ia tak
sanggup berkata jujur, Ibu A akan selalu berdoa. Ia akan berdoa seratus kali
lipat lebih khusyuk dari biasanya apabila ia merasa tidak sanggup menyelesaikan
masalah yang dihadapinya, dan iapun akan menyerahkan masalahnya kepada Tuhan.
Pertama-tama memang A selalu mempertanyakan apakah itu kekuatan doa? Ataukah
itu kekuatan sugesti? Sehingga doa ibunya sering terkabul. A juga menyadari
bahwa perkara doa yang terkabul ataupun keajaiban kecil maupun besar yang
terjadi dalam hidup memang kadang tampak hadir biasa saja, tanpa sensasi dan
sangat sederhana sehingga membuat A enggan mengakuinya. Tapi pada akhirnya
melalui sosok ibunya membuat A tetap percaya pada doa, bahkan pada tahun-tahun
A tak terlalu percaya Tuhan.
Melalui buku ini
pula aku banyak belajar tentang hubungan ibu-anak. Aku sadar sebagai seorang
ibu kadang aku berharap terlalu banyak kepada anakku, tapi yang ku tau pasti
aku akan selalu berusaha berbuat baik dengan cara yang menyenangkan terutama
kepada anak-anakku.
Last but not
least, jika semua akan menjadi sejarah, aku ingin menjadi sejarah yang dikenang
indah oleh anak-anakku.
*tulisan ini
diikutsertakan dalam Gramedia Blogger Competition bulan November. #GBCNovember